“Christie, cinta memang terkadang membutakan
kita dari segalanya. Karena memang cinta memiliki sebuah sisi gelap dibalik
keindahan sisi terangnya. Tapi jangan terkecoh Chris, jangan pernah sudi
dibutakan oleh cinta. Karena kitalah yang lebih berhak mengendalikan cinta kita
sendiri…”
Matahari
kian condong kebarat, sesekali seakan-akan terbelit awan putih yang setia
mendampingi disisinya. Warnanya yang jingga dan menyilaukan mata seakan
menjadikan suasana lebih romantis.
Disini,
dibawah pohon jambu monyet dikebun dekat rumahku, spot favoritku bersama
Christie, sahabat kecilku yang masih akan terus menjadi sahabatku entah sampai
kapan. Sepulang sekolah, kami selalu mampir kemari. Entah itu untuk sekedar
mengobrol, curhat, menangis, tertawa, atau sekedar menunggui sang mentari
terbenam, seperti saat ini.
Kulirik
sedikit Christie dari sudut mataku. Matanya terbelalak, bibir kecilnya
tersenyum tipis mengantar kepergian sang mentari. Dibalik remang cahaya
matahari senja yang tetutupi rimbun dedaunan pohon jambu, aku masih bisa
melihat jelas wajah cantiknya.
Aku
suka. Ya, sejak dulu aku memang menyukainya. Aku suka wajah putih dan kulit
langsatnya. Aku suka rambut lurus hitamnya yang panjang. Aku suka mata
sipitnya,. Memang dia keturunan Chinese. Tapi mungkin itulah yang aku suka
darinya. Perawakan dan wajahnya yang berbeda dari gadis-gadis lain, justru
membuatnya lebih special bagiku.
“Agatha…?”
panggil Christie, pelan.
Aku
menoleh, dan segera tersadar dari lamunanku tentangnya. “Apa Chris..?”
“Udah
sore ah, pulang yuk. Takut papa-ku marah.” Ajaknya, sambil lekas berdiri dan
membenahi kantongnya.
“Eh,
iya udah mau adzan maghrib nih. Aku antar yah?” aku segera berdiri dan
membenahi kantongku juga.
“Nggak
usah Gat, aku nggak mau lihat lagi ekspresi kesel papa tiap kali aku dianter
kamu…” katanya sembil tersenyum kecut.
Aku
membalasnya dengan senyuman hangat dibibirku. “Nggak apa-apa Chris, aku ‘kan
harus terbiasa sama ekspresi kesel papa kamu, hehehe..”
“Ayolah
Gat, jangan pancing amarah papa dong. Dia bener-bener nggak suka lihat aku
temenan sama anak pribumi.”
“Mungkin
nggak suka karena kamu temenan sama aku. Yang beda ras dan agama sama kamu….”
Kataku santai, sambil menatap wajah Christie.
Kini
Christie yang membalas tatapanku dengan heran dan kesal. Kembali, kulontarkan
senyuman hangat untuknya. “Udah deh Chris, yuk pulang….”
“Apa?
Kamu mau pindah kemana Gat? Kenapa mendadak?!” suara manja Christie, kini
terdengar cukup keras ditelingaku. Matanya berkaca-kaca, menahan tangis. Jangan
menangis Chris, sungguh aku tidak ingin melihatmu menangis disini.
“Maaf
Christie, aku harus ikut ibuku ke Aceh. Kami sudah tidak bisa tinggal disini.
Ayah dan ibuku berpisah, terpaksa aku…” aku menundukkan kepalaku, tidak
meneruskan kata-kataku. Tak kuasa menatap wajah Christie yang kini sudah
dibanjiri air mata.
“Agatha…
jangan lupain aku ya. Janji ya… kamu bakal balik lagi sama aku. Kamu janji ya
Gat, aku juga janji bakal terus nunggu kamu disini Gat.” Ujar Christie lirih.
Aku
hanya mengangguk lemah. Suaraku seakan tertahan oleh perasaanku yang meluap.
Beberapa saat, kami hanya terdiam didalam kesunyian dibawah pohon jambu ini. Tempat
favoritku dengan Christie. Tempat kami membagi kisah bersama. Dan aku berharap,
akan ada kasih juga yang kami bagi bersama. Entah suatu saat nanti, mungkin.
Sebelum
aku pergi ke NAD, aku dan Christie mengukir sebuah kalimat dengan pisau lipat
dibatang pohon jambu itu. ‘Basecamp Agath dan Chris’. Kalimat itu tiba-tiba
saja ingin aku ukir dibatang pohon jambu kenangan kami. Setidaknya bisa menjadi
obat kangen Christie padaku sewaktu-waktu.
Waktu
melesat cepat bagaikan anak panah. Delapan tahun telah berlalu dan aku telah
banyak berubah. Masa-masa remaja yang pahit telah merubahku menjadi seorang
pria yang sukses diumurku yang baru menginjak 24 tahun.
Hari
ini, aku bertekad untuk kembali ke Bandung. Sekedar menengok kampung halamanku
semasa kecil, juga dengan alasan lain tentunya. Ingin menemui Christie, sahabat
dan cinta pertamaku. Dengan harapan, ia masih menungguku dibawah pohon jambu
kenangan kami.
Banyak
yang berubah dari desaku yang dulu. Kebun dekat rumah yang dulu menjadi spot
favoritku telah berubah menjadi sebuah taman kanak-kanak islami. Tapi pohon
jambu kenangan itu masih tetap ada. Berdiri tegak dengan kokohnya, meskipun warna
batangnya sudah sedikit menghijau karena lumut.
Aku
mendekati pohon itu, meraba batangnya yang lembab. Kusingkirkan benalu-benalu
yang menempel. Mataku pun terbelalak kaget bercampur gembira. Ukiran itu masih
ada. ‘Basecamp Agath dan Chris’. Masih terpampang jelas, meskipun sudah mulai
memudar karena tertutupi lumut.
Aku
tersenyum tipis dengan hati yang lega. Tempat ini memang sudah banyak berubah,
tapi kenangan disini tidak akan pernah berubah. Sampai kapan pun.
Tiba-tiba
seorang gadis kecil menghampiriku yang sedang terduduk santai dibawah pohon
jambu. Wajahnya yang mungil, kecil dan putih seakan-akan mengingatkanku pada
seseorang. Christie.
“Om
ngapain disitu, banyak ulet tau!” ujar bocah manis berjilbab itu, dengan suara
kecilnya yang cempreng.
Aku
tersenyum lembut sambil menatapnya. Matanya benar-benar mirip Christie. “Om
lagi melamun. Kok adek belum pulang?” tanyaku sambil melihat ke sekitar taman
kanak-kanak yang sudah mulai sepi.
“Lagi
nunggu mama. Mama lama sih, aku suka pulang paling akhir jadinya.” Omel gadis
kecil itu, manja.
“Memang mama adek kemana?” tanyaku
lagi, sambil mengelus-elus rambutnya.
“Mamaku kerja, terus harus
beres-beres rumah. Pokoknya mama sibuk banget.”
Aku
hanya tersenyum saja melihat kebawelan gadis kecil ini. Lucu, polos, mirip
sekali seperti Christie. Uh, aku jadi ingin cepat-cepat bertemu Christie nih.
“Oh
iya, namamu siapa dek?”
“Aku
Aristy, 5 tahun, kelas O kecil.” Kata bocah bernama Aristy itu, sambil
mengulurkan tangannya. Aku membalas uluran tangannya yang kecil sambil
tersenyum gemas.
“Nama
om Agatha, salam kenal ya Dek Aristy…”
“Eh
om, itu mama aku udah datang….” Aristy segera menghambur menuju ibunya yang
baru saja turun dari becak.
Seorang
ibu yang masih muda, dengan jilbab merah muda yang serasi dengan wajahnya yang
putih. Tunggu, aku merasa familiar dengan wajah itu. Ya, wajah yang begitu
kurindu-rindukan. Christie?
Aku
segera berlari menghampirinya, “Christie….!!” Panggilku, hampir berteriak.
Seketika
ia menoleh dengan wajah keheranan. Dan benar saja, seorang Christie yang
dibalut busana muslim dan jilbab kini ada dihadapanku. Mataku terbelalak dan
mulutku hampir terbuka. Ia masih sama, tidak berubah sedikitpun. Mungkin
penampilan dan riasannya memang berubah, tapi dimataku ia masih Christie yang
dulu.
“A,
Agatha…??” tanyanya, setengah tak percaya.
“Chris,
ini aku. Aku ‘kan udah janji bakal balik lagi kesini buat nemuin kamu!”
“Kamu
beneran Agatha..??” tanyanya lagi, masih tak percaya melihatku.
“Iya
Chris, aku Agatha…”
Christie
tersenyum kecut. Air matanya mulai terkumpul disudut-sudut matanya. Wajahnya
yang sendu, mengingatkanku pada kejadian 8 tahun yang lalu. Saat aku akan pergi
ke Aceh meninggalkannya.
Tiba-tiba
aku merasa terhenyak. Sebuah hantaman keras seakan memukul jantungku tatkala
kulihat Christie saat ini, dengan busana muslimnya, sambil menuntun seorang
gadis kecil yang lucu. Dan dijari manisnya, terlingkar sebuah cincin emas
bertabur permata yang indah.
“Christie…
kau…?” tanyaku, dengan mata terbelalak.
Christie
menunduk. Air mata mengucur dari sisi-sisi matanya. Membanjiri wajah manisnya
yang begitu kurindukan. Mengapa? Mengapa lagi-lagi aku melihat Christie menangis?
“Ma,
mama kenapa nangis..?” tanya Aristy, bingung.
Christie
pun segera menghapus air matanya, lalu menggendong Aristy kecil yang sedang
kebingungan. “Nggak sayang, mama kelilipan.” Ujarnya sambil tersenyum, kecut.
Sambil
menggendong Aristy, ia pun menghampiriku yang masih membisu dengan sejuta
pertanyaan. Kami saling menatap satu sama lain, lalu Christie pun tersenyum
sambil terus menatapku.
“Agatha,
aku senang. Sangat senang melihatmu kembali disini menepati janji kita dulu.
Tapi maaf Gat, akulah yang telah melanggar janjiku. Aku sudah….” Christie
menghentikan kata-katanya, wajahnya tertunduk, dan air matanya kembali
mengalir. “Aku sudah menikah, dengan Bang Akbar….” Lanjutnya, lirih.
Mataku
kembali terbelalak, dan sebuah hantaman yang lebih keras kembali menghujam
jantungku. “Ke, kenapa bisa Chris… bukankah papa-mu…?”
“Papaku
meninggal, beberapa bulan setelah kau pergi ke Aceh. Aku sebatang kara Gat, aku
tak punya siapa-siapa lagi selain papa. Tak ada yang mau menampungku. Akhirnya
aku pun dipungut keluarga Bang Akbar, dan demi membalas jasanya aku rela
dijadikan istri keduanya….” Christie menjelaskan, sambil memeluk Aristy erat.
Tetesan air mata terus mengalir dari mata indahnya.
Aku
menatap Christie, tak percaya. Ternyata waktu delapan tahun telah banyak
merubah segalanya. Juga hidup Christie. “Tak apa Chris, aku senang…” ucapku,
bergetar. “Kuharap dirimu yang sekarang akan lebih bahagia dengan keluarga dan
gadis kecilmu. Aku senang, melihatmu telah berubah seperti ini….”
Christie
membalas tatapanku dengan sendu. Lagi, tatapan itu tatapan yang pernah aku
lihat. Ketika ia menahanku yang hendak pergi ke Aceh. Dan sekarang aku melihat
lagi tatapan sendu itu.
“Sekarang
aku muslim Gat. Aku tidak menyesal, aku bahagia. Mungkin inilah jalan hidupku
Gat. Maafkan aku ya, tidak bisa menepati janji kita dulu….”
“Iya,
tak apa. Musibah tidak pernah ada yang tahu akan datang kapan. Aku turut
bahagia saja ya Chris….”
Dengan
sekilas senyuman tipis yang pahit, aku pun pergi. Meninggalkan Christie, dan
gadis kecilnya, Aristy. Meninggalkan satu-satunya alasanku kembali ke Bandung.
Rasanya sungguh sakit, kecewa, kesal. Hilang sudah cinta pertamaku, yang sudah
kutunda-tunda delapan tahun lamanya. Semuanya tinggal sepenggal kisah lama. Tak
berbekas.
“Agathaaa….!!!!”
Tiba-tiba Christie mengejarku yang sudah berjalan cukup jauh. Menarikku, dan
seketika menelungkupkan wajahnya kedadaku. Memelukku erat.
“Chri,
Christie, kenapa…??” tanyaku, kaget
“Jangan
Gat, jangan pergi….” Ujar Christie, ditengah isakan tangisnya. “Jangan kembali
ke Aceh Gat, jangan tinggalin aku lagi Gat, kumohon…..”
“Chris…?”
aku mengangkat wajah Christie, menghapus air mata yang berlinang dipipinya.
Kutatap wajahnya lekat-lekat. Matanya menyorotkan kesedihan dan kerinduan luar
biasa. “Maaf Chris… maaf. Kau istri orang sekarang….”
“Biar
Gat, aku rela ikut denganmu Gat. Aku mencintaimu….” Lirih Christie
Kembali
aku menatapnya, dengan sebuah rasa bersalah didadaku. Kulirik Aristy yang
berdiri dengan bingung disamping ibunya. Aku mengelus rambutnya, dan
menggendongnya ke pangkuanku. Lalu aku lihat Christie yang masih saja terisak
dalam tangisnya.
“Aku
juga mencintaimu Chris, itu alasanku kembali kesini...” Kataku, sambil
memindahkan Aristy kegendongan ibunya.
“Kalau
begitu, jangan pergi. Kau juga mencintaiku ‘kan, Gat…”
Aku
terhenyak. Rasa bersalah yang begitu besar menjalari perasaanku. Tak tega
meninggalkan Christie lagi. Tapi, tak bisa. Tak bisa, dia kini milik orang
lain.
“Christie,
cinta memang terkadang membutakan kita dari segalanya. Karena memang cinta
memiliki sebuah sisi gelap dibalik keindahan sisi terangnya. Tapi jangan
terkecoh Chris, jangan pernah sudi dibutakan oleh cinta. Karena kitalah yang
lebih berhak mengendalikan cinta kita sendiri…”
Kami
hening sejenak, hanya saling menatap dan larut dalam pikiran masing-masing.
Entahlah, tapi mungkin ia sedang mencerna perkataanku tadi. Karena air matanya
tidak mengering juga sejak tadi, berkumpul disudut-sudut mata indahnya.
“Maafkan
aku Chris, cerita kita tinggalah kisah lalu. Jalanilah hidupmu yang baru. Berjuanglah
dengan sekuat hati untuk melindungi keluargamu yang baru. Kau sudah memiliki
gadis kecil sekarang, sayangilah dia. Lupakan cintamu padaku, karena kini ada
seorang anak yang lebih berhak menerima cintamu….”
Christie
masih saja berlarut-larut dalam tangisannya. Aku mengelus kepalanya yang
tertutup rapi jilbab merah muda. “Jangan bersedih lagi…. Christie.”
Kini
aku melihat Aristy, gadis kecil yang lucu, mirip sekali dengan ibunya. Aku
tersenyum sambil mengelus-elus jilbab kecilnya. “Dek Aristy, jagain mamanya ya.
Jangan sampai nangis lagi mamanya…” pintaku, sambil memberinya senyuman hangat.
“Iya
om, aku janji….” Aristy mengangguk-angguk lucu.
Aku
lekas berbalik. Meninggalkan lagi Christie untuk yang kedua kalinya, juga untuk
yang terakhir kalinya. Meninggalkan kembali wanita yang pernah mengisi
kehidupanku. Christie yang menangis dengan menggendong Aristy dipelukannya,
masih belum beranjak juga. Kepedihan dan kesusahan sudah banyak merubah
dirinya.
Matahari
senja mulai memancarkan cahaya jingganya. Aku menatap kelangit dengan senyuman
pahit dan segores luka dihati. Malam ini juga, aku putuskan untuk kembali ke
Aceh.
Selamat
tinggal Christie, selamat tinggal lagi. Jadilah wanita yang kuat demi gadis
kecil dan suamimu. Lupakanlah aku. Sepenggal kisah lalu yang pernah terukir
dihatimu. Dan mulai saat ini, aku pun akan berusaha melupakanmu. Melupakan
segala tentang kita dan pohon jambu kenangan kita.
Sepenggal Kisah Lalu
-TAMAT-