Tahu apa yang membuatku
ragu akan hubungan ini?
Sesuatu yang transparan
namun sulit ditembus
Sesuatu yang ringan
namun sulit digapai
Atau sesuatu yang ada
didepan mata namun tak dapat dipandang
Itulah kita…
Jangan pernah berharap lebih,
kumohon..
Karena Fajar dan Senja
tak akan pernah muncul bersamaan
Dan mereka tak akan
pernah bersama
Aku adalah aku. Dengan kulit putih yang tetap akan putih
meski kujemur berjam-jam dibawah terik matahari. Dan aku tetaplah aku. Aku
dengan mata segaris yang tetap terlihat segaris meski sedang membelalak. Atau
aku dengan rambut lurus yang selalu lurus tanpa disisir. Mungkin kalian bisa dengan
mudah mengenali ras-ku. Kami memang sudah berbaur dengan rakyat pribumi sejak
ratusan tahun lalu. Saat nenek moyang kami merantau ke negeri ini.
Tapi meski sudah ratusan tahun lamanya, dan meski darahku
sudah tercampur darah pribumi, tapi ciri-ciri fisik-ku masih tetap sama dengan
para nenek moyangku. Hal itulah yang membuatku merasa berbeda.
Dan perbedaan itu semakin terasa sulit saat aku beranjak
dewasa. Saat aku mulai mengenal hal-hal lain yang kubutuhkan dalam hidupku.
Saat aku mulai mengetahui sepenggal hal-hal menyenangkan dari dunia ini. Juga
saat aku mulai diperkenalkan dengan sebuah istilah cinta.
Namanya Fajar Setya Dermawan. Aku tidak tahu soal
keluarganya, tapi dari cara bicaranya mungkin dia ada sedikit keturunan Sunda. Aku mengenalnya sejak kelas 1
SMA. Hingga kini kami sama-sama berada dikelas 3, dan kami selalu satu kelas.
Aku kurang tahu banyak tentangnya. Yang pasti aku sudah
menyukainya sejak camping pendidikan dasar dikelas 1 dulu. Aku masih ingat saat
dia menuntunku yang sedang linglung ditengah hutan malam-malam. Dia datang
disaat aku benar-benar marah pada senior yang seenaknya meninggalkanku
sendirian dihutan
Dengan penerangan senter seadanya, Fajar membawaku
kembali ke perkemahan. Sesampainya disana kulihat wajah cemas para senior yang
mengkhawatirkanku. Tidak, mungkin lebih tepatnya khawatir jika kalau-kalau aku
hilang dan mereka akan didamprat habis-habisan oleh guru kesiswaan. Sungguh, aku
ingin memotret wajah-wajah mereka yang segera menghampiriku saat aku dibawa
oleh Fajar.
Tapi
saat itu, tak pernah kupikirkan lagi wajah konyol para senior itu. Yang
kuingat, hanya wajah Fajar. Dibawah remang-remang lampu senter. Aku masih ingat
saat ia bertanya, “kamu baik-baik aja?”. Saat itu, aku hanya mengangguk kecil.
Entah udara dingin, atau udara yang lain yang membuatku tak mampu menjawab
pertanyaan sederhananya. Dan jujur, aku menyesal tidak menjawabnya.
Aku
lebih menyesal lagi, karena sejak saat itu aku bahkan tak pernah saling bicara
lagi. Selama 3 tahun kami satu kelas, namun entah apa yang membuat kami tak
pernah mempunyai kesempatan berbicara. Tapi pernah satu kali, ia sempat tersenyum
sekilas padaku saat kami berpapasan didepan toilet. Sungguh, saat itu aku
bahagia luar biasa. Lalu kuresmikan toilet siswa sebagai salah satu momentum
cintaku.
Aku
ingat satu hal lagi yang tidak kalah penting dari cerita diatas. Satu hal yang
begitu membuatku merasa cocok dengan Fajar –meskipun kenyataannya cintaku
bertepuk sebelah tangan. Ada sesuatu yang begitu aku suka dari kami berdua.
Sebuah nama.
Ya,
mungkin sebagai turunan Chinese, aku memiliki 2 nama. Tapi di akte kelahiranku,
namaku adalah Senja Arini Sanjaya. Ya, nama Senja yang begitu aku suka dari
diriku –selain rambut panjang lurusku yang juga kusukai.
Aku
suka namaku. Mulanya, memang tak ada yang berarti. Namun setelah mengenal
seseorang bernama Fajar yang kini selalu menghantui pikiranku, nama itu menjadi
sangat berarti. Kau tahu, Fajar dan Senja adalah pasangan yang paling cocok
bukan? Fajar datang disaat pagi, lalu berganti menjadi Senja disaat sore
menjelang.