FOLLOW my twitter and instagram account @ononovia :) thank you

Jumat, 11 Mei 2012

Fajar di Mata Senja


Tahu apa yang membuatku ragu akan hubungan ini?
Sesuatu yang transparan namun sulit ditembus
Sesuatu yang ringan namun sulit digapai
Atau sesuatu yang ada didepan mata namun tak dapat dipandang
Itulah kita…
Jangan pernah berharap lebih, kumohon..
Karena Fajar dan Senja tak akan pernah muncul bersamaan
Dan mereka tak akan pernah bersama

            Aku adalah aku. Dengan kulit putih yang tetap akan putih meski kujemur berjam-jam dibawah terik matahari. Dan aku tetaplah aku. Aku dengan mata segaris yang tetap terlihat segaris meski sedang membelalak. Atau aku dengan rambut lurus yang selalu lurus tanpa disisir. Mungkin kalian bisa dengan mudah mengenali ras-ku. Kami memang sudah berbaur dengan rakyat pribumi sejak ratusan tahun lalu. Saat nenek moyang kami merantau ke negeri ini.
            Tapi meski sudah ratusan tahun lamanya, dan meski darahku sudah tercampur darah pribumi, tapi ciri-ciri fisik-ku masih tetap sama dengan para nenek moyangku. Hal itulah yang membuatku merasa berbeda.
            Dan perbedaan itu semakin terasa sulit saat aku beranjak dewasa. Saat aku mulai mengenal hal-hal lain yang kubutuhkan dalam hidupku. Saat aku mulai mengetahui sepenggal hal-hal menyenangkan dari dunia ini. Juga saat aku mulai diperkenalkan dengan sebuah istilah cinta.
            Namanya Fajar Setya Dermawan. Aku tidak tahu soal keluarganya, tapi dari cara bicaranya mungkin dia ada sedikit  keturunan Sunda. Aku mengenalnya sejak kelas 1 SMA. Hingga kini kami sama-sama berada dikelas 3, dan kami selalu satu kelas.
            Aku kurang tahu banyak tentangnya. Yang pasti aku sudah menyukainya sejak camping pendidikan dasar dikelas 1 dulu. Aku masih ingat saat dia menuntunku yang sedang linglung ditengah hutan malam-malam. Dia datang disaat aku benar-benar marah pada senior yang seenaknya meninggalkanku sendirian dihutan
 Dengan penerangan senter seadanya, Fajar membawaku kembali ke perkemahan. Sesampainya disana kulihat wajah cemas para senior yang mengkhawatirkanku. Tidak, mungkin lebih tepatnya khawatir jika kalau-kalau aku hilang dan mereka akan didamprat habis-habisan oleh guru kesiswaan. Sungguh, aku ingin memotret wajah-wajah mereka yang segera menghampiriku saat aku dibawa oleh Fajar.
Tapi saat itu, tak pernah kupikirkan lagi wajah konyol para senior itu. Yang kuingat, hanya wajah Fajar. Dibawah remang-remang lampu senter. Aku masih ingat saat ia bertanya, “kamu baik-baik aja?”. Saat itu, aku hanya mengangguk kecil. Entah udara dingin, atau udara yang lain yang membuatku tak mampu menjawab pertanyaan sederhananya. Dan jujur, aku menyesal tidak menjawabnya.
Aku lebih menyesal lagi, karena sejak saat itu aku bahkan tak pernah saling bicara lagi. Selama 3 tahun kami satu kelas, namun entah apa yang membuat kami tak pernah mempunyai kesempatan berbicara. Tapi pernah satu kali, ia sempat tersenyum sekilas padaku saat kami berpapasan didepan toilet. Sungguh, saat itu aku bahagia luar biasa. Lalu kuresmikan toilet siswa sebagai salah satu momentum cintaku.
Aku ingat satu hal lagi yang tidak kalah penting dari cerita diatas. Satu hal yang begitu membuatku merasa cocok dengan Fajar –meskipun kenyataannya cintaku bertepuk sebelah tangan. Ada sesuatu yang begitu aku suka dari kami berdua. Sebuah nama.
Ya, mungkin sebagai turunan Chinese, aku memiliki 2 nama. Tapi di akte kelahiranku, namaku adalah Senja Arini Sanjaya. Ya, nama Senja yang begitu aku suka dari diriku –selain rambut panjang lurusku yang juga kusukai.
Aku suka namaku. Mulanya, memang tak ada yang berarti. Namun setelah mengenal seseorang bernama Fajar yang kini selalu menghantui pikiranku, nama itu menjadi sangat berarti. Kau tahu, Fajar dan Senja adalah pasangan yang paling cocok bukan? Fajar datang disaat pagi, lalu berganti menjadi Senja disaat sore menjelang.