FOLLOW my twitter and instagram account @ononovia :) thank you

Selasa, 06 Desember 2011

Tiga Pertanda Cinta

Jangan sebut namanya,
Apalagi bisikkan ditelingaku
Cukup hanya aku,
Dan cukup dalam hatiku
Yang menyimpan segelintir tanya
“mengapa?”
Ada kesamaan diantara kita
Juga nama kita
 (catatan disuatu malam dingin, sebelum pertanda itu datang)


“Wah neng, ini mah deket neng, dekeett. Ngga akan lama lagi!!” ujar si aki bersorban putih yang sedari tadi memerhatikan garis-garis telapak tanganku.
“Masa sih ki, siapa ki?” tanyaku, penasaran
“Wah aki ga bisa ngasih tau. Tapi aki bisa ngasih pertanda buat eneng!” si aki melepaskan tanganku, dan beralih memelototiku dengan tajam.
Aliya yang sedari tadi duduk disampingku, kini memeluk lenganku erat. “Mel, pulang yuk…” rengeknya
“Bentar Al, bentar:” aku berbisik pelan
“Pertanda pertama!” si aki mengangkat tangannya tinggi-tinggi, hingga sempat membuatku dan Aliya kaget. “Dia…pria yang bakal jadi jodoh eneng, diam-diam selalu perhatian sama eneng.”
“Wah beneran tuh ki?” tanyaku, makin penasaran
“Pertanda kedua!” si aki kembali mengangkat tangannya, namun kali ini tidak membuatku kaget. “Dia…punya banyak persamaan sama eneng.”
Aku tersenyum sumringah. Begitu penasaran dengan ramalan si aki-aki yang kutemui dijalan ini.
“Dan…yang pertanda terakhir. Dia…tidak akan lama lagi. Akan mengumumkan perasaannya sama eneng. Jadi neng tenang aja. Ini mah deket neng, bukan orang jauh.” Si aki tersenyum, membuat bulu kudukku cukup menggelitik. Aliya makin mengeratkan pelukannnya.
“Ma, makasih ya ki. Makasih.” Aku mengulurkan tangan pada si aki.
“Hahahahaaa…” si aki tertawa keras, namun terlihat begitu menakutkan untukku. Ia menghentikan tawanya tiba-tiba dan kembali menatap mataku tajam. “Dua puluh ribu!”
“Haa??” aku dan Aliya melongo
“Cukup dua puluh ribu neng, hehee..”
Aku berbalas menatap si aki nyebelin ini. Dan tiba-tiba saja, rasa takutku kini surut. Berbalik kekesalan, karena mesti merogoh uang 20.000-an yang tinggal selembar didompetku.
“Al, ongkos pulang dari kamu dulu ya..” aku berbisik pada Aliya
Dan aku makin kesal, saat mendengar tawa kecil dari bibirnya.
“Puas kamu Mel” cibir Aliya

Matahari pagi ini begitu menyengat. Namun tidak menyurutkan semangat para siswa-siswi dikelasku. Dengan semangat membara, mereka bergerumul dimeja Aliya yang malang. Buat apalagi kalo bukan mau nodong PR.
Dan sebagai teman terbaiknya Aliya, aku santai saja. Karena aku sudah dapat fasilitas VIV. Salinan dari Aliya, hehe.
“Mel… aku dimintain PR lagi. Gimana dong.” Aliya mengadu, sampai hampir nangis.
“Yang sabar ya Al…itu sih resikonya jadi paling pinter sekelas” aku coba menghibur Aliya, meskipun agak merasa dosa.
“Iya Mel. Dasar anak-anak pada mau enanknya aja.” Aliya mengeluh, kesal
“Yah, siapa juga yang mau susahnya, hehe.”
Aliya cemberut. Dan tiba-tiba saja, ia seakan teringat sesuatu.
“Mel, Mel, pertanda dari si aki itu gimana Mel. Kamu udah tau siapa jodoh kamu?” tanya Aliya, mengingatkanku pada si aki bersorban putih tempo hari.
“Oh iya, si aki sialan yang nagih dua puluh ribu itu?” aku menyiiritkan dahi, “ah pertandanya juga ngga jelas gitu. Mana bisa aku tau?”
“Pertanda pertama, kalo ngga salah…” Aliya mengingat-ingat
“Cowok itu, diam-diam perhatian sama aku!” aku menimpali
“Hem.. iya iya, siapa ya yang perhatian sama kamu Mel.” Aliya celingak-celinguk melihat sekeliling.
Akupun mengikuti arah pandangan Aliya. Dan terhenti pada seseorang. Cowok itu, yang sedang melihatku dari jauh. Kini tersenyum padaku. Mulai beranjak dari bangkunya dan mendekat kearahku.
Aliya tersenyum jail, “Tuh mungkin Mel..”
“Hay Mel, Hay Aliya..” sapa Toni, ketua kelas kami yang sudah kutaksir dari kelas1.
Aku mengagap, “Ha, Hay Ton!”
Oh Tuhan, kalau memang dia jodohku. Aku rela bayar 20.000 lagi sama si aki bersorban putih.
“Boleh liat tugas kimia kamu ga? Maaf nih ngerepotin.” Toni memamerkan senyuman terindahnya. Dan hampir saja aku kejang-kejang melihatnya.
“Bo, boleh…” dengan gugup aku mengambil buku kimiaku dan segera menyerahkannya pada Toni.
Toni memandangku dengan aneh. Tapi tidak membuatku merasa terhina, malah makin dimabuk kepayang.
“Mel?” tanyanya, dengan nada curiga
“A, apa?”
“Kamu sakit? Kamu kok gemeteran?” Toni mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Aku semakin sulit bernapas. Apalagi saat tangannya hendak menyentuh keningku.
“Mel, kamu belum piket ya?” tiba-tiba saja Musika menarikku yang sudah hampir pingsan.
“Ha?” aku tersadar dari alam mimpi
“Piket dulu woy, aku capek piket sendiri tau.” Omel Musika.
Aku melotot kesal. Dan kulihat Toni sudah kembali kebangkunya dengan buku kimiaku.
Aku melirik Musika dengan kesal, “kamu ganggu banget sih. Tadi tuh momen krusial aku tau!!” aku membentak, rasa-rasanya pengen nyekek nih orang.
“Cepetan piket!” timpal Musika dingin, sambil menyodorkan sapu padaku.
“Heh, awas kamu ya Mus!!” aku menantang,  mengacungkan gagang sapu tepat didepan wajahnya
Mataku makin memelototi Musika. Dan yang makin membuatku kesal adalah, ekspresinya. Sedari tadi ia tidak menanggapi kemarahanku.
Dengan cepat ia menepis gagang sapu, lalu mendekatiku hingga tak memberiku kesempatan menghindar. Aku sempat kaget, mengira ia akan memelukku. Namun ternyata ia membisikkan sesuatu di telingaku.
“Sebelum piket, benerin dulu resleting rok-mu. Jangan sampai Toni-mu ngeliat…”
Aku masih berdiri kaku, sementara ia segera melenggang ke bangkunya.
“Sialan, Musika!” aku mendesis kesal, sambil membenarkan resleting rok-ku yang tidak tertutup setengahnya.

Siang begitu cerah, dilengkapi matahari yang menyengat. Dengan tas punggung yang lumayan berat, handphone tergantung dileher, dan segelas ale-ale ditangan, aku dan Aliya berjalan kaki pulang kerumah. Yah meskipun sudah naik bus kota, tapi kami tetap harus jalan kaki kedalam komplek. Ngirit-ngirit ongkos supaya ngga naik ojek.
“Tadi berantem sama Musika?” tanya Aliya, sambil melempar gelas plastic ale-alenya yang kosong.
“Pletak!!”
“Woy neng, liat-liat dong!” seorang bapa tukang becak yang malang --yang kebetulan lewat dan kelempar cangkang ale-ale-- berteriak, mengomeli kami.
“Maaf pak!!” Aliya setengah berteriak meminta maaf. Ia lalu kembali menoleh padaku. “Tadi kenapa sama si Musika, Mel?” tanyanya
“Oh, sialan tuh anak. Dia bilang resleting aku kebuka. Jangan-jangan dia liat-liat lagi!”
“Wah, si Musika perhatian bener. Resleting aja diliat-liat.”
“Iya mana ganggu momen romantis aku sama Toni segala. Ngenes banget deh sama tuh anak!!” gerutuku, lalu menghabiskan sedotan terakhir ale-aleku.
Aliya memandang wajahku penuh tanya. “Perhatian sama kamu Mel? Musika?”
Aku seakan terhenyak oleh kata-kata Aliya, dan balas memandangnya dengan mata melotot.
“Ma, maksudnya? Ramalan itu Al?” tanyaku, was-was
“Iya, kata si aki jodoh kamu kan yang perhatian sama kamu diam-diam Mel.”
Aku mengerutkan dahi. Kalau memang yang dimaksud si aki adalah Musika, ngga terima banget deh. Dia satu-satunya cowok yang selalu bermasalah sama aku dari kelas1. Sialan si aki.
“Jangan gitu dong Mel, jodoh kan bisa siapa aja. Yah mungkin aja emang bener si Toni.” Aliya menghibur, melihatku yang makin cemberut.
Aku tersenyum tipis dan menoleh, “Al, masih ada dua pertanda lagi kan?”
“Iya Mel, kita selidiki deh.” Aliya mengangguk
Kami pun melanjutkan perjalanan pulang dengan senyum dan sebongkah rasa penasaran. Siapa jodohku? Apa memang bener pertanda si aki? Atau memang dia cuma nipu? Kalo iya nipu, liatin aja. Tuh aki-aki bakalan aku datengin. Heh, kekerasan pada manula.

Esok harinya, setiap pagi disekolah masih sibuk dengan kegiatan yang sama. Berbondong-bondong nagih isi PR sama Aliya. Dan aku _sang sahabat tercintanya Aliya_ sudah tenang dan tinggal melamun menunggu guru datang. Dan untungnya hari ini bukan jadwalku piket. Jadi ngga usah diomelin si Musika lagi.
“Mel, ada yang nyariin tuh!” kata Aliya sambil menunjuk seorang gadis yang berdiri didepan pintu kelas.
Aku segera beranjak dari tempat duduk dan mendekati gadis itu. Dari bet dikanan seragamnya, kulihat dia anak kelas satu.
“Siapa ya?” tanyaku, heran melihat anak kelas satu mencariku.
“A, aku Dina ka. Kakak ini, Kak Melodia Rashinta kan?” tanyanya, dengan senyuman yang dipaksakan.
Kelihatannya gugup, mungkin dia takut. Halah emang aku nyeremin yah?
“Iya, ada apa ya de?” jawabku ramah, mencoba menghilangkan kesan gugupnya
“A, aku pengurus OSIS kak. Mau minta tolong sama kakak.” Katanya, masih dengan kegugupannya.
Aku menatapnya bingung. Minta tolong? Apaan? Perasaan aku ngga pernah ikut OSIS deh. Ekskul aja udah keluar.
“Tolong apa de?” tanyaku, bingung
“Gini kak, minggu depan OSIS mau ngadain Pensi. Dan tiba-tiba aja salah satu pengisi acara musiknya jatuh sakit. Denger-denger kakak jago nyanyi ya? Malah pernah juara1 vokal se-kecamatan kan? Kalo boleh kami OSIS amu minta bantuan kakak.”
Aku menatapnya semakin bingung. Pensi? Nyanyi? Apaan sih anak ini? Emang pernah aku juara1 vokal se-kecamatan, tapi tingkat sd. Dan sekarang, boro-boro. Udah bertahun-tahun aku ngga latihan vokal lagi.
“Gi, gimana kak? Tanyanya ragu, melihatku yang hanya bengong tak menggubris permintaannya.
“Gimana ya?” aku balik bertanya, makin bingung.
“Ikut aja Mel, buat ngeharumin nama kelas kita juga kan?” kta Toni yang tiba-tiba muncul dan menepuk bahuku.
Aku menoleh kaget, “Eh Toni? I, iya sih…tapi bingung juga.”
“Iya dong kak, bantu ya…” Dina memohon dengan wajah memelas.
Aku menatap Toni yang juga menatapku. Wajahnya seakan-akan bicara, “ikutlah Mel, demi aku…”
Dan aku semakin bingung lagi saat menatap keduanya. Bukannya aku ngga mau, tapi aku udah begitu lama ngga nyanyi. Dan kini, disuruh tiba-tiba nyanyi di acara Pensi yang pasti ditonton satu sekolah plus Toni. Yang pastinya malu, bukan Toni atau Dina. Atau juga pengurus OSIS. Tapi aku, yang kini akhirnya mengangguk karena tak kuasa melihat tatapan Toni.
“Bagus Mel, aku pasti dukung kamu!” kata Toni sembari memajang senyuman khasnya --yang membuatku terpaksa terhimpit dalam masalah ini.

Siang ini, saat-saat dimana aku seharusnya pulang kerumah dan menikmati segelas ale-ale didepan layar kaca. Tapi hari ini, mau ngga mau aku ditinggal Aliya sendirian diruang OSIS. Dan kesalnya, si Dina yang menyuruhku malah ngga nongol-nongol sampe sekarang
“Ngapain kamu disini?” tanya seseorang yang suaranya begitu familiar bagiku. Bahkan merinding aku mendengarnya.
 “Terserah aku aja mau apa. Sendirinya mau ngapain keruang OSIS?” aku berbalik tanya dengan nada sinis.
“Ngapain aja. Yang pasti ngga ada urusannya sama kamu.” Musika berbalik sinis.
“Yee siapa juga yang mau berurusan sama situ.” sewotku, sebal.
Aku pun sedikit bergeser menjauh saat dia duduk dikursi sebelahku. Ia mengutak-atik handphonenya. Entah sedang sms siapa. Aku coba-coba mengintipnya sedikit, tapi ketahuan. Akhirnya aku pun mengeluarkan handphone dan pura-pura mengetik sesuatu. Padahal ngga dikirim ke siapa-siapa sih.

“Kak Melodia, Kak Musika? Udah nunggu lama?” Dina yang baru saja datang segera mendekati kami.
“Udah hampir bulukan, Din.” Jawabku asal, sambil sedikit mengeluh.
“Emang situ udah bulukan!” timpal Musika seenaknya.
Aku melirik Musika dengan mata melotot. Sialan nih anak, nyari masalah.
“Maaf, maaf ya. Tadi aku ulangan perbaikan dulu kak. Hehee. Nah kalian udah siap kan? Yuk sekarang kita ke ruang kesenian, harus cepet latihan. Acaranya seminggu lagi!” kata Dina seraya mengajak aku dan Musika keluar ruang OSIS.
Namun segera, langkahku tertahan diambang pintu. Begitupun Musika yang berdiri di sebelahku.
“Tu, tunggu Din…” kataku, menahan, “maksudnya kami, eh dia juga nyanyi di acara Pensi?” tanyaku bngung sekaligus kaget.
“Loh, bukannya kalian emang duet? Kalian belom tau?”
“Hah?? Duet!!?” tanyaku dan Musika berbarengan.
Dina mengangguk sambil tersenyum tanpa dosa.
 “Duet? Sama dia?” tanyaku dengan nada kaget bercampur jengkel.
“Bukannya sama Mira anak kelas 11? Kok jadi sama dia?” protes Musika
“Aku ngga mau aja kalo sama dia. Ngga deh, udah mah cape-cape harus latihan eh malah harus ada orang ini. Maaf deh” aku menimpali, masih nada jengkel.
Dina memandangi wajah kami bergantian. Raut wajahnya menjadi kecewa dan sedih. Terbesit rasa sesal saat ia menundukka wajahnya yang kini muram. Tapi mau bagaimana lagi. Gengsiku terlalu tinggi buat bilang iya.
“Okey deh, aku sih oke-oke aja. Udah terlanjur janji juga sama kamu Din. Meskipun perjanjiannya sih ngga sama orang ini…” ucap Musika tiba-tiba. Aku sedikit melongo mendengarnya.
“Bener kak? Wah makasih banget ya kak Mus…” Dina kini memajang senyum cerianya lagi. Musika tersenyum lembut melihatnya. Aku cukup kaget melihat senyuman lembut Musika yang baru pertama kali kulihat. Dan ia tersenyum karena seorang gadis.
Kini dina melirik ke arahku. Aku cukup dibuat bingung dengan tatapannya yang penuh harap. Duh ini sih beneran pilihan berat. Antara gengsi dan hati nurani. Halaahh.
Dengan senyuman kecut yang dipaksakan, akhirnya akupun mengagnguk. Dan sedetk kemudian, Dina menghambur memelukk.
“Makasih ya kak. Kalian memang baik. Aku ngga akan kena ngambek ketua OSIS kalo gitu. Makasiihhh…” Dina nyerocos.
“Ya ya deh, jadi, kapan nih latihannya?” tanya Musika.
“Ayo deh kak!”

Dua jam latihan. Suaraku sudah hampir serak karena lelah. Air mineral sudah habis 2 botol, tapi rasanya ngga cukup. Dan rasanya, yang membuatku begitu capek bukanlah latihan nyanyi ini. Melainkan…..
“Cempreng banget sih!” sewot Musika sambil meminum air mineralnya.
“Kayak yang suaramu bagus aja. Bisa nyanyi ngga sih? Lirik aja ngga hafal!” aku balik menyewoti.
“Huuu ngomel mulu, kalo suara cempreng gitu jangan sok-sok an ikut nyanyi dong.”
“Eh siapa juga yang mau ikut. Aku tuh diajakin tau! Berarti semua orang tuh pada tau kualitas suaraku!!”
“Ah cuma jadi pengganti kan? Kalo emang bagus kenapa ngga diajakin dari awal aja…!!”
“Eh sewot banget sih? Sirik sama aku?”
“Ngapain sirik!!” Musika mencibir
Tiba-tiba Dina hadir diantara kami, dan segera menghentikan pertengkaran ngga jelas kami.
“Udah dong kak Mus, kak Mel….” lerai Dina
“Dia duluan tuh!” tuduhku
“Kakak-kakak ini kenapa sih bertengkar melulu. Please-lah kak, tolongin aku sekali ini aja. Jangan berantem terus dong… “ Dina tertunduk dengan suara yang tersendat.
“Ya, ya, maafin aku Din.” Musika mengelus rambut Dina. Aku menyiritkan dahi melihatnya.
Akhirnya kami pun kembali latihan menyanyi diiringi keyboard oleh Pak Ilham, guru seni kami. Mungkin ada sebuah tanda tanya besar dikepala Pak Ilham. Karena dilatihan terakhir ini, kami tidak berkata-kata. Hanya lirik lagu yang keluar dari mulut kami. Bukan cibiran seperti saat latihan sebelumnya.

Pagi ini dengan suasana kelas yang masih sama, aku duduk dibangkuku sambil menopang dagu. Pose galau yang hampir setiap pagi aku lakukan. Tapi kali ini sesuatu berkecamuk dalam pikiranku. Entah apa yang sebenarnya benar-benar kupikirkan ini. Tapi sebuah siluet Musika saat mengelus rambut Dina begitu mengusik pikiranku.
“Hey Mel!” Aliya menepuk pundakku, membuyarkan lamunanku.
“Eh, Al…apa?”
“Kamu kenapa? Kemaren gimana sama Musika?” tanya Aliya sambil duduk di sisiku.
“Apa? Musika kenapa?” aku berbalik tanya.
“Ngga, aku kan pengen tau. Biasanya kan kalian berantem, eh tiba-tiba harus nyanyi duet sama dia.” Aliya tersenyum sambil memainkan rambut panjangku.
Tiba-tiba saja Toni melewat didepan bangkuku dan Aliya sambil tersenyum lembut.
“Hey Mel, hey Aliya…” sapanya sambil segera berlalu
Mataku masih terus mengikuti sosoknya. “Oh my god, Toni keren banget pake cardigan hitam…”
“Wah wah, kerenlah. Hari ini kalian bisa samaan gitu. Sama-sama pake cardigan hitam.” Aliya menunjuk cardigan hitam yang melekat dibadanku.
“Eh?” tiba-tiba aku merasa teringat sesuatu. Begitupun Aliya yang kini raut wajahnya berubah.
“Mel, itu kan…”
“Pertanda kedua!” timpalku, bersemangat. Tapi sedetik kemudian aku kembali cemberut. “Belum Al… pertanda kedua kan, banyak persamaan diantara aku dan dia. Kalo cuma baru sama-sama pake cardigan hitam sih, belum banyak Al…”
“Iya, ya Mel. Semangat dong, mungkin ada persamaan-persamaan yang belum kita ketahui Mel.”

Sore harinya, aku dan Musika selesai latihan vocal. Kali ini pun masih sama. Entah mengapa tidak ada pertengkaran diantara kami. Dan aneh. Aku merasa merindukan setiap cibirannya.
Aku segera membereskan tas-ku sambil meleguk sisa air mineralku. Dengan sedikit tergesa-gesa, aku memakai cardiganku. Kulihat jam kulit _imitasi_ ditanganku. Wah parah, udah jam 5 sore. Pantesan perutku udah memberontak sejak tadi.
“Eh maaf…” ucapku saat tanpa sengaja menubruk Musika yang sedang jongkok sambil membereskan tas-nya.
Ia hanya melihatku sekilas dan kembali membereskan tas-nya. Serem juga ngeliat dia jadi pendiem gitu. Padahal biasanya sewot banget.
Aku pun bergegas keluar ruang OSIS. Dan saat melihat koridor sekolah sudah sepi, aku semakin mempercepat langkahku.
Namun tiba-tiba suara seorang gadis mengagetkanku. “Kak Melll….”
Aku menoleh, “Eh Dina?”
“Pulang bareng yuk Kak.” pintanya
Aku hanya mengangguk kecil.

“Aku sirik banget loh sama Kak Mel dan Kak Mus…” kata Dina tiba-tiba saat kami didik di bus.
“Sirik?” tanyaku heran
“Iya, kalian sama-sama cantik dan cakep. Sama-sama punya mata coklat. Kalian bisa nyanyi dan kompak. Nama kalian juga senada. Melodia dan Musika....keren banget deh kalian.” Tutur Dina dengan senyuman lembut dan mata yang berbinar-binar.
Aku menyiritkan dahi, “hahaha masa kami dibilang kompak.” Aku memaksakan tawa.
“Kalian kompak  banget. Awalnya kalian berantem terus, tapi ternyata bisa juga kan nyanyi bareng-bareng. Itu artinya kalian emang partner…”
Dan lagi-lagi aku memaksakan tawaku. Ya, mungkin begitulah kami dimatamu Din. Tapi entah mengapa, feeling-ku bilang kalu kamulah yang Musika sukai. Ya, kamu partner Musika. Aku hanya rival Musika. Atau bisa juga dibilang…..rivalmu, Dina.

Seminggu sudah latihanku bersama Musika. Hambar. Memang kini kami terlihat lebih kompak saat berduet. Tapi tetap saja, aku merasa hambar. Saat gladi resik, beberapa saat sebelum aku dan Musika naik ke panggung pensi, aku melihat dia berbicara serius dengan Dina dibelakang ruang OSIS. Entah membicarakan apa. Aku tak dapat menangkap pembicaraan mereka.
Kutatapi mereka dari jauh. Dina dibalut busana kebaya pink yang begitu manis. Kebetulan dia memang menjadi MC diacara ini. Dan kini kulihat Musika. Cowok itu, dengan kemeja putih dan jas casual yang lengannya digulung se-siku. Dipadu dengan jeans hitam. Betapa aku merasa sesak saat hatiku jujur berkata, dia tampan.
Dan meskipun kini Toni sedang duduk disampingku untuk menyemangatiku. Tapi apa yang kupikirkan. Oh tidak, aku hanya terbayang Musika.
“Semangat ya Mel…kamu bakal keren banget malem ini.” Toni menyemangati.
Aku hanya membalasnya dengan senyum dan anggukkan kecil.
“Ayo Mel, semangat. Hehee…”Aliya yang sedang menata rambutku, ikut menyamangati. “nah udah jadi mel rambutnya. Cermin cermin…”
“Makasih Aliya sayang.” Kataku saat bercermin. Sebuah sanggul berbentuk bunga yang terbuat dari lilitan rambutku. Manis sekali. Cocok dengan gaun putih dan riasanku.
Tapi entah mengapa, ada yang kurang dariku. Berulang kali bercermin, berulang kali aku merasa ada yang kurang. Entahlah, mungkin saat ini auraku sedang galau.

“Inilah dia, persembahan dari Melodia Rashinta dan Musika Pradita dengan lagu Kau Curi Lagi!!!” Dina sedikit berteriak saat memanggil kami.
Tepuk tangan para penonton menyambut kedatangan kami. Dibangku terdepan, kulihat Aliya dan Toni melambaikan tangan pada kami. Aku melirik kearah Musika, dan ia tersenyum. Oh my god, senyuman lembut yang pernah ia persembahkan untuk Dina.
Ia menyiritkan dahi saat aku melongo memikirkan senyumnya. Aku sampai lupa, sudah saatnya bagianku.
“Di…jejak langkahku. Ku mau, kau tak ada……………..….”
“Ku yakin tanpamu ku dapat lalui. Kuharap ini kan slamanya……….…..”
“Kau curi lagiiii… uuuuuuu……. Kau genggam lagi………….uuuuuu…….”
Dan selama 5 menit berada dipanggung, aku merasa lega. Hampir setiap saat aku dan Musika bertatapan dan berpegangan tangan. Entah mengapa, aku merasa begitu bahagia. Menyanyi berdua bersamanya _tanpa menghiraukan yang menonton_ hanya aku dan dia.
“prok prok prok prok prok” suara ricuh para penonton dan tepuk tangan mereka menemani akhir lagu kami.
“Makasih…” ucapku dan Musika bersamaan.
Dan ketika aku akan segera pergi meninggalkan panggung. Musika menarik tanganku.
“Hadirin, selagi saya masih berada dipanggung. Saya ingin meminta waktunya sebentar untuk mengatakan sesuatu….”
Aku membelalak saat mendengar ucapannya. Tanganku masih ia tahan kuat-kuat.
“Apa-apaan ini?” tanyaku, sedikit berbisik.
Tiba-tiba saja seluruh penonton sunyi senyap. Tak ada yang berbicara ataupun tepuk tangan. Lagu latar pun berhenti.
Hanya ada tatapan lembut Musika dan tangannya yang menggenggam tanganku.
“Mel…” katanya sambil menatap mataku dalam-dalam. “ Aku suka sama kamu Mel, ngga peduli walaupun kamu galak kayak macan. Aku suka kamu, dari pertama kita sering berantem, aku rasa kamu beda Mel. Aku suka…”
Kalau mungkin ia memilih kata-kata yang lebih romantis, mungkin aku malahan tidak akan se-terharu ini. Sungguh, aku sampai hampir meneteskan air mata, mendengar pengakuannya.
“Mel… mau kan jadian sama aku?” tanyanya dengan nada yang begitu lembut.
Tak sanggup rasanya aku menjawab. Kini air mata benar-benar mengalir ke-pipiku.
“Mel?” Musika terkaget, “ka, kalo ngga mau ngga apa-apa kok. Kamu ngga usah nangis…” katanya, panik.
“Ngga Mus, aku mau kok. Justru aku nangis karena aku mau……” jawabku, dengan napas tersendat-sendat.
“Bener Mel? Aku diterima nih?” Musika mengusap sisa air mata di pipiku. Oh Tuhan, ini serasa mimpi.
Dan aku hanya menjawabnya dengan anggukkan keras. Kini seluruh penonton heboh. Tepuk tangan dan siulan menjadi backsound kami. Musika memelukku erat. Tak peduli kalau sesudah acara ini kami dipanggil keruang BK sekalipun. Yang pasti, aku sangat bahagia.

“Hahaha… jadi dulu kamu kira aku suka sama Dina say? Hahahaha..” tawa Musika begitu keras sampai membuatku merasa kesal.
Hari ini hari minggu. Dan ini kencan pertama kami. Rencananya aku akan membawa Musika pada seseorang.
“Udah deh…” aku menutup mulut Musika yang masih saja terus tertawa dalam bungkaman tanganku.
Ia melepaskan tanganku, dan menggenggamnya erat. Aku pun menghentikan langkahku.
“Denger ya say, Dina itu pacar adikku, si Ritme. Makanya aku pengen dia seneng. Wajar dong, sama adik ipar. Eh kamu malah cemburu. Hahahaa…” lagi-lagi tawanya menggelegar.
“Aku kan ngga tau.” Aku cemberut sebal
“Dan soal Mira itu, udah aku rencanakan sejak awal. Saat Mira sakit, aku yang memohon padanya untuk menggantinya denganmu. Soalnya aku tau kalau kamu dulu pernah juara nyanyi se-kecamatan. Aku kan runner up-nya waktu itu.” Musika menjelaskan, sambil menggandeng tanganku.
“Oh masa sih? Kamu jahat deh, udah nipu aku kalo gitu!” aku mencubit perut Musika.
“Eh, eh eh…: Musika meringis, “eh say, kita mau kemana sih sebenernya?”
“Oh iya, kita udah sampai tuh!” kataku sambil menunjuk kearah seorang aki bersorban putih yang duduk di emperan toko.
“Siapa dia?” tanya Musika
“Dia tuh yang bikin kita jadian…”
“Oh ya? Masa sih, yang bikin kita jadian kan aku.” Ujar musika, ke-pede-an
“Iiihhh…” aku mencubit Musika lagi.

Dan saat itu juga, seorang gadis melintas dihadapan aki itu.
“Neng, sini!” panggil si aki
Si gadis menoleh keheranan, dan segera mendekati si aki. “Ada apa ki?”
“Aki akan memberikan 3 pertanda cinta sama neng!”



3 pertanda cinta
_tamat_